[Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi]
Jakarta, 02 Desember 2024 – Wacana yang dilontarkan oleh anggota Komisi III DPR RI Deddy Sitorus dari Fraksi PDIP terkait penempatan Polri di bawah naungan TNI atau Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) terus mendapat penolakan dan protes keras dari publik.
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi juga angkat bicara melalui siaran pers terkait wacana yang diusulkan oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan itu.
Menurut Hendardi, evaluasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) oleh PDI Perjuangan yang salah satunya mengarah pada dugaan keterlibatan Polri dalam pemenangan kontestan tertentu di beberapa daerah dan berujung pada usulan pencopotan Kapolri dan perubahan posisi kelembagaan Polri, dapat dimaklumi.
Hal itu bisa dianggap sebagai aspirasi politik yang muncul dari pemantauan PDI Perjuangan atas netralitas Polri dalam Pilkada.
Diakui atau tidak, dugaan itu tidak perlu dibuktikan kecuali menjadi dalil dalam sengketa Pilkada, baik melalui Bawaslu maupun nanti di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Hendardi, kritik PDI Perjuangan harus dimaknai sebagai alarm keras bagi kualitas demokrasi dan integritas Pilkada serentak 2024.
Selain itu juga dapat menjadi dasar akselerasi reformasi dan transformasi Polri pada beberapa peran yang dianggap oleh PDI Perjuangan, memperburuk kualitas demokrasi.
“Secara faktual, baik langsung maupun tidak langsung, publik menangkap pesan bahwa terdapat pihak-pihak yang diuntungkan oleh peran-peran Polri, selain peran normatif melakukan pengamanan dan sebagai bagian dari Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) Pilkada,” ujar Hendardi.
Akan tetapi munculnya aspirasi mengubah posisi kelembagaan Polri di bawah TNI sebagaimana di masa Orde Baru adalah gagasan keliru dan bertentangan Konstitusi RI.
“Usulan agar Polri berada di bawah Kementerian Dalam Negeri juga bertentangan dengan semangat Pasal 30 ayat (2) dan (4) UUD Negara RI 1945,” tegasnya.
Dijelaskan oleh Hendardi, ketentuan ini mengatur bahwa usaha keamanan rakyat dilaksanakan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai kekuatan utama, alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hakikat Polri sebagai alat negara kemudian ditafsirkan dalam UU Polri yakni menjadi berkedudukan di bawah Presiden.
Sehingga menurut Hendardi tanggung jawab pelaksanaan keamanan dan ketertiban nasional oleh Polri dilakukan kepada Presiden.
“Penting diingat, bahwa pemisahan TNI dan Polri sebagaimana TAP MPR No. VI/MPR/2000 adalah amanat reformasi yang harus dijaga,” kata Hendardi.
Ia menyebut, gagasan pengembalian posisi Polri sebagaimana di masa lalu dapat mengundang banyak penumpang gelap yang berpotensi merusak tata kelembagaan negara di bidang keamanan, ketertiban dan penegakan hukum.
Dalam riset Desain Transformasi Polri, SETARA Institute (2024) telah menangkap aspirasi terkait perubahan posisi kelembagaan Polri dan merekomendasikan transformasi kinerja Polri bukan mengubah posisi kelembagaan Polri.
“Karena menjaga independensi Polri adalah perintah Konstitusi,” tegasnya.
SETARA Institute mendorong transformasi Polri dengan salah satunya memperkuat tugas dan peran Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) sebagai instrumen pengawasan permanen atas tugas-tugas Polri dalam menjalankan fungsi perlindungan dan pengayoman, menjaga keamanan dan ketertiban dan menjalankan fungsi penegakan hukum.
Secara paralel, perbaikan hukum Pemilu dan Pilkada harus terus menerus dilakukan, baik dilakukan oleh otoritas legislasi maupun melalui Mahkamah Konstitusi yang menetapkan ketidaknetralan ASN dan TNI/Polri sebagai tindak pidana, sehingga kualitas demokrasi terus meningkat.