DEPOK, 29 November 2024 – Terdakwa kasus Tempat Pembuangan Sampah ilegal di Limo, Depok, Jawa Barat, J alias Jayadi mengajukan pra peradilan terhadap Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ke Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat, Jumat (29/11/2024).
Saat sidang perdana pra peradilan, istri terdakwa bersama keluarga dan masyarakat terlihat hadir di ruang persidangan.
Dalam sidang perdana tersebut, pihak KLHK tidak tampak hadir sehingga majelis hakim PN Depok menunda jalannya persidangan.
Kuasa hukum Jayadi, M Zainul Arifin, SH, mengungkapkan kekecewaannya atas ketidakhadiran dari pihak KLHK dan hanya mengirimkan surat kepada majelis hakim.
“Sebetulnya kami berharap sekali ya teman-teman KLHK ataupun perwakilan yang sah menurut hukum untuk hadir di persidangan ini. Namun ternyata mereka tidak hadir dan hanya mengirimkan surat,” ungkap M Zainul saat ditemui di PN Depok, Jawa Barat, Jumat (29/11/2024).
“Namun tadi majelis menyampaikan menurut majelis tadi terkait surat itu tidak tepat disampaikan ke majelis karena di dalam surat itu mereka menyatakan terkait dengan kewenangan relatif dalam yurisdiksi wilayah persidangannya. Mereka berpikir bukan wilayah Depok tapi wilayah Sudiharjo,” sambung Zainul.
Zainul Arifin menyebut jika penetapan tersangka terhadap kliennya tidak berdasarkan hukum formil persidangan.
“Dan kami meyakini bahwa penetapan status tersangka pak Jayadi tidak berdasarkan hukum formil proses persidangan,” kata Zainul.
Penetapan Jayadi sebagai tersangka kebakaran Tempat Pembuangan Sampah tidak tepat. Pasalnya, kebakaran kerap terjadi di kawasan tersebut.
“Proses yang terjadi kebakaran di Limo, Depok bukan hanya kebakaran bulan Oktober, tapi sebelum-sebelumnya sudah terjadi kebakaran bahkan minggu lalu sudah terjadi kebakaran,” ucap Zainul
“Dan kenapa kebakaran bulan Oktober itu dibebankan kepada pak Jayadi terkait penetapan tersangka,” sambungnya.
Pihak Zainul menjelaskan jika penumpukan sampah sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Ia pun mempertanyakan peran pemerintah daerah dan KLHK terkait adanya tumpukan sampah tersebut.
“Dan proses penumpukan sampah bukan hanya satu tahun atau dua tahun tapi sudah 15 tahun dan kemana peran pemerintah daerah dalam hal ini tidak ada pembinaan dan pengawasan atau teguran terkait pembuangan sampah disitu,” terang Zainul.
Persoalan pembakaran sampah yang membuat kliennya menjadi tersangka bukanlah hal yang utama. Zainul menyebut jika faktor utamanya adalah perselisihan lahan yang mana status kepemilikan lahan tersebut masih jadi sengketa antara perusahaan dengan warga.
“Terjadi persoalan perselisihan lahan. Menurut keterangan dari KLHK, lahan itu dikuasai oleh PT Megapolitan yang sementara lahan sampah itu ada kepemilikannya dari pak Jayadi. Terjadi skenario penzaliman terhadap pak Jayadi dengan penetapan status tersangka padahal itu proses sengketa lahan,” urai Zainul.
“Penting bagi kami untuk menyampaikan pesan kepada masyarakat Limo jangan mudah terprovokasi dan mengorbankan satu orang. Padahal benang merahnya ini adalah perselisihan lahan yang sampai hari ini bukan kepemilikan hak milik,” pungkasnya.
Bionda J.Anggara menambahkan Praperadilan yang dilakukan hari ini ingin menguji dalam proses penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penahanan, dan penuntutan yang dilakukan oleh PPNS-LH dengan melanggar peraturan perundang-undangan atau KUHAP yang pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia terhadap klien kami Sdr.Jayadi.
“Termohon tidak pernah mencantumkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebagai dasar mengingat dalam hal untuk menetapkan klien kami sebagai Tersangka, harusnya Terlapor juga harus menyerahkan SPDP tidak hanya kepada Kejaksaan tetapi Pemohon mempunyai hak untuk diberikan SPDP sesuai dengan Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015) dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari” terang Bionda.
“Bahwa kami juga menguji dua alat bukti yang dijadikan acuan oleh pihak PPN-KLH dalam menetapkan Sdr.Jayadi kurang memenuhi alat bukti, Saat pemeriksaan kepada klien kami didapati informasi alat bukti yang ditunjukan kepada Pemohon berupa bukti Surat yaitu Foto yang menerangkan kebakaran Lokasi TPA dan Kwitansi Sewa Menyewa. Jika bukti ini dianggap patut maka tentunya hal tersebut dapat membawa akibat yang “menyeramkan” dikemudian hari karena dengan hanya bukti foto Lokasi kebakaran TPA tidak memberikan informasi bahwa Pemohon sebagai orang yang melakukan pembakaran terhadap TPA illegal” urai Bionda.
Medioni Anggari juga menambahkan adanya kejanggalan dalam proses prosedure dalam penetapan tersangka dimana Pemohon mempertanyakan kedudukan hukum penyidikan yang dilakukan oleh Termohon yang masih bersifat umum dan tidak jelas serta menurut diri Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak beralasan menurut hukum dan terdapat ketidakpastian hukum tentang penegakan hukum terpadu berdasarkan Pasal 95 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup setelah keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18 /PUU-XII/2014. Sikap dan nilai-nilai tertentu dari Termohon yang tidak mendukung keterpaduan sistem peradilan pidana akan menyebabkan terjadinya fragmentasi dalam penegakan hukum dan mengarah pada “instansi sentris” yang sangat tidak memungkinkan bagi terwujudnya sistem peradilan pidana terpadu dengan tidak melibatkan Kepolisian tutupnya. (MZ)
Baca Berita Menarik Lainnya Di Google News