Makanan Jawa sangat populer dan sudah diadopsi oleh komunitas-komunitas non-Jawa di Suriname, seperti Afro-Suriname dan Indo-Suriname. Ketika mereka menyelenggarakan acara, menu seperti nasi dan mi goreng sering kali disajikan.
Lestarinya makanan Jawa antara lain didorong oleh kondisi saat orang-orang Jawa datang ke Suriname mulai 1890. Hoefte menuturkan orang-orang Jawa secara geografis terisolasi dari etnik-etnik lain yang telah dulu tiba.
Mereka hidup di perkebunan dan meski ada pekerja dari etnik lain, misalnya orang-orang dari India atau Afrika, ada pemisahan berdasarkan etnisitas di perkebunan-perkebunan besar.
“Ini membuat orang-orang Jawa bisa mempertahankan tradisi [karena tidak terpengaruh oleh tradisi dari etnik-etnik lain],” jelas Hoefte.
Kehidupan yang terisolasi dan juga rasa ingin mulih Njowo (kembali ke Jawa) membuat ekspresi budaya – antara lain kuliner – menjadi pelarian.
Dan hingga generasi-generasi berikutnya, makanan Jawa terwariskan hingga sekarang.
Keberadaannya lestari dan sudah diterima oleh kelompok-kelompok etnik lain di Suriname, seperti yang juga terlihat di Pasar Saoenah.
Selain Pasar Saoenah, masih ada satu tempat di Paramaribo yang juga dikenal sebagai pusat makanan Jawa. Letaknya di Blauwgrond, sekitar setengah jam dengan mobil dari pusat kota.
Di tempat ini, di kanan kiri jalan terdapat banyak restoran yang menyediakan makanan Jawa. Seperti di Pasar Saoenah, pengunjungnya beragam, tak hanya orang Jawa.
Blauwgrond, Pasar Saoenah, dan warung-warung yang mudah ditemukan di Paramaribo — baik yang permanen maupun yang dijajakan dengan kendaraan di pinggir jalan — menjadi saksi jayanya makanan Jawa di Suriname.