Ditulis Oleh : M Syaiful Rizal, M.MT
Surabaya, Nopember 2023 – Ungkapan “Don’t Judge The Book From The Cover” mungkin sudah tidak lagi relevan jika digunakan dalam pemasaran dan branding produk di era digital seperti sekarang. Akses terhadap informasi produk berjalan lebih cepat dibanding mendapatkan nilai atau merasakan manfaat dari produk itu sendiri. Branding is the Key Of Product Value. Oleh karena itu Branding menjadi salah satu hal yang paling penting ketika sebuah produk akan dipasarkan.
Branding, hal tersebut juga merupakan point penting bagi UMKM untuk naik kelas. Di Era persaingan bisnis digital seperti saat ini, UMKM bisa memainkan peran branding dan mampu bersaing dengan industry besar. Fenomena Social Commerce yang sedang ramai belakangan justru seharunya menjadi pemicu kebangkitan UMKM karena siapapun akan memiliki kesempatan yang sama di ekosistem pasar digital. Tercatat ada 19 juta UMKM di Indonesia yang sudah masuk platform digital seperti shopee, Tokopedia, Lazada dan lain sebagainya, berdasar data dari Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA) dimana target Pamerintah adalah 30 juta UMKM di pasar digital pada tahun 2024.
Branding produk paling mendasar adalah kemasan produk itu sendiri. selain berfungsi untuk pengaman produk, kemasan menjadi identitas utama sebuah produk. Kemasan yang mudah dikenali dan unik akan berdampak pada pada psikologis pemasaran dimana produk akan lebih di ingat oleh konsumen sehingga memicu repeat order.
Sayangnya untuk mendapatkan kemasan dengan kualitas dan design yang baik memiliki biaya yang tidak murah bagi beberapa kalangan UMKM. Hal ini dikarenakan adanya jumlah minimal pemesanan yang diberlakukan produsen packaging. Di PT. Dasaplast Nusantara misalnya, anak usaha PTPN X ini mematok minimal pemesanan 30 Roll kemasan dengan panjang 2000 – 2500 meter. Harga per roll kemasan di kisaran 1.5 – 2 juta dengan penggunaan bisa sampai 4000 pcs. Sehingga untuk sekali pemesanan bisa memakan biaya modal 45 juta – 60 juta dengan jumlah packaging 120.000 pcs. Sayangnya jumlah produksi usaha skala UMKM tidak sebesar itu untuk 1 jenis produk dalam 1 bulan. Modal yang dibutuhkan akan bengkak di biaya kemasan.
Permasalahan modal usaha untuk branding itulah yang menjadikan produk UMKM tidak terlalu memprioritaskan branding lewat packaging. Nilai rupiah tersebut lebih baik dialokasikan untuk belanja bahan baku dan supply chain.
Namun ada beberapa model bisnis yang dapat digunakan untuk mengantisipasi masalah diatas. Salah satunya adalah model bisnis komunal. Model bisnis ini pada prinsipnya adalah menggabungkan beberapa usaha yang memiliki produk yang sama menjadi 1 merk sehingga memiliki branding dan packaging yang seragam. Model bisnis berbasis komunitas produk yang sama ini akan menyelesaikan permasalahan modal usaha yang dialami oleh pengusaha UMKM dengan Cashflow terbatas.
Sebagai contoh misal ada 10 UMKM yang memproduksi kripik Nangka. Jika mereka memiliki merk masing – masing maka mereka harus meluangkan modal @60juta untuk pemesanan 1 roll kemasan. Target produksi dan penjualan mereka akan tinggi karena dituntut dapat menjual 120.000 pcs per periode produksi. Dengan model bisnis komunal maka 10 UMKM tersebut akan menjadi konsorsium dengan 1 merek yang sudah disepakati. Rata – rata dari UMKM tersebut hanya akan mengeluarkan modal @6juta dengan target produksi sebanyak 12.000 pcs. Jumlah perbandingan modal dan produksi dapat disesuaikan dengan besar kecil UMKM.
Dengan model bisnis komunal diatas maka modal usaha untuk packaging tidak terlalu besar dengan target produksi yang rileks. UMKM masih dapat mengalokasikan cashflow untuk hal lainnya.