ilustrasi
Teheran, 14 November 2024 – Pada Rabu (13/11), Mohsen Paknejad Menteri Perminyakan Iran mengungkapkan bahwa mereka telah mengantisipasi kemungkinan seruan pembatasan ekspor minyak oleh AS pasca Donald Trump menang dalam pilpres
“Langkah-langkah yag diperlukan telah diambil. Saya tidak akan menjelaskan secara rinci tetapi rekan-rekan kami sektor perminyakan telah mengambil langkah-langkah untuk menangani pembatasan yang akan terjadi dan tidak ada alasan untuk khawatir,” jelas Paknejad
Menurut data OPEC, beberapa tahun terakhir produksi minyak Iran telah normal kembali dikisaran 3,2 juta barel perhari sehingga ekspor minyakpun turut mengalami peningkatan, mendekati level tertinggi sebesar 1,7 juta barel per hari meski disanksi AS. Produksi minyak Iran sebagian besar dibeli oleh China, negara yang tidak mengakui sanksi sepihak dari AS tersebut
Sanksi ekonomi terhadap Iran oleh AS bukanlah hal baru. Hubungan kedua negara yang tegang selama beberapa dekade telah memicu serangkaian pembatasan ekonomi. Sanksi pertama kali diberlakukan pada tahun 1979 kepada Iran terkait dukungan negara tersebut kepada kelompok militan
Kemudian di awal abad 21, fokus sanksi bergeser ke program nuklir Iran, dimana AS dan negara barat lainnya khawatir bahwa program nuklir itu bertujuan militer. Pada tahun 2015, Iran menandatangani Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA)-kesepakatan nuklir Iran- dengan negara-negara besar termasuk AS. Sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya, sebagian besar sanksi internasional dicabut
Namun pada 2018, di periode pertama pemerintahan Trump, AS menarik diri dari JCPOA dan kembali memberlakukan sanksi lebih ketat kepada Iran, yang mencakup berbagai sektor termasuk energi, perbankan dan industri
Salah satu dampak signifikan dari sanksi itu adalah pembatasan ekspor minyak Iran. Diketahui minyak merupakan sumber pendapatan utama Iran, sehingga pembatasan tersebut memberikan tekanan ekonomi yang sangat besar
sumber : VOA Indonesia