Hari Santri 2025, Panggilan Konsolidasi Bangsa

Berita Politik

Surabaya, 25 Oktober 2025 – Ruh peringatan Hari Santri Nasional (HSN) tahun 2025 kian meneguhkan posisi kaum santri dan pesantren sebagai jantung perjalanan bangsa Indonesia. Bagi para santri, kata Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, HSN jauh dari semata slogan belaka tetapi justru merupakan momentum konsolidasi semua kekuatan dalam menjaga dan merawat persatuan.

Tentu saja, kata Gus Yahya, sapaan KH. Yahya Cholil Staquf, saat agenda Kick Off Hari Santri Nasional 2025 di Surabaya, Ahad (19/10/2025) peringatan ini akan menjadi momentum reflektif dan penuh makna. Dan lebih dari itu, lanjut Gus Yahya, HSN yang genap satu dekade sejak ditetapkan pada 2015, juga bermakna sebuah perayaan atas diakuinya eksistensi dan perjuangan kaum santri dalam melahirkan NKRI.

Dan secara spesifik, katanya, perayaan ini kian menegaskan semangat kebangsaan yang lahir dari Resolusi Jihad 1945 oleh Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari, spirit perjuangan yang kini kembali digaungkan oleh Gus Yahya. Pada Kick Off yang digelar PWNU Jawa Timur di Auditorium UNUSA Surabaya, Gus Yahya menyerukan pentingnya persatuan bangsa menghadapi tantangan global dan domestik.

Tahun ini, Hari Santri mengusung tema ‘Mengawal Indonesia Merdeka, Menuju Peradaban Mulia’. Gus Yahya menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia bukan hanya peristiwa politik, melainkan tonggak peradaban manusia.

“Proklamasi Indonesia memang dibacakan di Jakarta, tapi ujian kemerdekaannya justru terjadi di Surabaya. Dan itu dilakukan oleh santri,” katanya.

Menurutnya, cita-cita kemerdekaan yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah cita-cita universal untuk menghapus penjajahan di dunia.

“Tagline Hari Santri bukan sekadar slogan, tetapi panggilan untuk konsolidasi persatuan bangsa,” tegasnya.

Dalam pidatonya, Gus Yahya juga mengapresiasi langkah Presiden Prabowo Subianto yang tengah mendorong transformasi sistem dan manajemen keuangan negara demi kesejahteraan rakyat.

“Kebijakan besar itu butuh energi koheren yang besar, dan dukungan seluruh elemen bangsa. Karenanya, Hari Santri harus menjadi momentum kebersamaan nasional,” ujarnya.

Gus Yahya juga menyinggung beragam musibah yang menimpa dunia pesantren belakangan ini, termasuk tayangan televisi yang melecehkan pesantren dan kiai. Ia menyebut hal itu sebagai ‘kado pahit’ yang justru menjadi momentum konsolidasi bangsa.

“Kita marah bukan karena Lirboyo atau NU saja, tapi karena penistaan terhadap kelompok identitas yang menjadi bagian dari keindonesiaan,” tegasnya.

Menurutnya, tindakan merendahkan kelompok identitas bisa memicu perpecahan bangsa dan harus dilawan bersama dengan semangat persatuan.

Sebelum menyerukan persatuan nasional, Gus Yahya mengingatkan agar warga NU terlebih dahulu bersatu sebagaimana pesan Hadratusy Syekh Hasyim Asy’ari dalam Muqaddimah Qanun Asasi.

“Masuklah ke dalam jam’iyyah ini dalam rukun dan bersatu, bukan hanya jasad, tapi juga ruh. Adanya masalah tidak boleh menjadi alasan untuk berpisah,” pesannya.

Ia menegaskan, persatuan bukan berarti tanpa perbedaan, tapi kemampuan untuk tetap bersama di tengah perbedaan.

Peringatan Hari Santri ke-10 ini menjadi momentum historis. Setelah satu dekade, santri diharapkan tetap berada di garda depan menjaga kemerdekaan, memperkuat moral bangsa, dan mengawal peradaban mulia.

Acara tersebut dihadiri tokoh penting PBNU dan PWNU Jawa Timur, antara lain KH Hasan Mutawakkil Alallah, Prof. Dr. Muhammad Nuh, KH. Abdul Hakim Mahfudz, serta pengurus cabang NU se-Jawa Timur.