
Jakarta, 25 Oktober 2025 – Di tengah meningkatnya tensi wacana publik mengenai peran pesantren dalam kemajuan bangsa, Pagar Nusa memilih merespons bukan dengan demonstrasi jalanan, melainkan dengan konsolidasi senyap. Pada Minggu, 19 Oktober 2025, organisasi bela diri berbasis pesantren ini menggelar apel pasukan dan latihan gabungan secara serentak di 211 titik di seluruh Indonesia. Tak ada teriakan provokatif, tak ada manuver politik. Yang muncul adalah barisan santri berseragam hitam, berdiri tegak dalam formasi disiplin dan seluruh rangkaian berjalan zero insiden.
Ketua Umum Pagar Nusa, Muchamad Nabil Haroen yang akrab disapa Gus Nabil mengatakan, apel ini bukan ajang kekuatan fisik semata, tapi penegasan moral santri dalam menjaga martabat pesantren dan para kiai yang belakangan menjadi sasaran narasi negatif di ruang publik.
“Pesantren adalah pusat lahirnya ulama dan penjaga moral bangsa. Upaya mengerdilkan pesantren sama dengan mengerdilkan akar peradaban Indonesia,” kata Gus Nabil dalam amanat apel.
Ia mengapresiasi kedisiplinan seluruh kader yang menggelar apel tanpa insiden.
“Zero insiden ini membuktikan kedewasaan santri. Saya yakin tiga juta kader Pagar Nusa tahu kapan harus berdiri dan bagaimana harus bergerak,” ujarnya.
Langkah Pagar Nusa ini dibaca bukan sekadar respon spontan, tetapi sinyal kuat bahwa pesantren tidak tinggal diam dalam pertarungan narasi ideologis. Alih-alih melakukan tekanan politik terbuka, gerakan ini memilih jalur legitimasi moral, menampilkan pesan bahwa bela negara hari ini bisa berwujud bela kiai dan bela pesantren.
Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif’an, membaca fenomena ini sebagai konsolidasi akar rumput yang tak bisa diabaikan.
“Pesantren adalah salah satu kekuatan sosial terbesar di Indonesia. Ada lebih dari 43 ribu pesantren yang menjadi ruang pembentukan karakter bangsa. Jika muncul narasi yang merendahkannya, respons santri bukan hanya wajar, tapi keniscayaan sejarah,” ungkapnya.
Gelar pasukan ini digelar bertepatan dengan peringatan Hari Santri. Momentum tersebut menghidupkan kembali ruh Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, saat para kiai menyerukan jihad mempertahankan kemerdekaan. Bedanya, kali ini jihad tidak dalam bentuk angkat senjata, melainkan kesiapsiagaan moral menghadapi ancaman narasi dan disinformasi terhadap kiai dan pesantren.
Seruan “Bela Kiai, Jaga Pesantren, Bela Negeri” disuarakan secara serentak menutup agenda. Pesannya jelas: santri bergerak bukan untuk melawan negara, tetapi untuk memastikan negara tidak berjarak dari akarnya sendiri.