
Jakarta, 26 Oktober 2025 – Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menko Bidang Infrastruktur dan Kewilayahan mengaku masih menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto terkait utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh.
“Kami masih terus menunggu arahan Pak Presiden juga sambil terus mengembangkan berbagai opsi yang paling baik dan berkelanjutan. Artinya bisa kemudian kita move on untuk membicarakan pengembangan kereta cepat berikutnya untuk Jakarta ke Surabaya. Saya merasa kita semua semakin saling mengenal,” ujar AHY di Istana, Jakarta, Senin (20/10/2025) dikutip Kompas.com.
AHY mengaku belum bisa menyampaikan secara final apa opsi-opsi yang tersedia karena segala sesuatunya masih dihitung semua.
“Apakah kemudian Danantara bisa menghandle, dan juga bagaimana nanti Kementerian Keuangan bisa berkontribusi, dan lain sebagainya,” jelasnya.
AHY melanjutkan bahwa pihaknya telah menggelar rapat bersama Danantara, Kemenhub, hingga KAI terkait restrukturisasi KCIC Jakarta-Bandung atau Whoosh. Dia menegaskan bahwa utang Whoosh tidak boleh menghambat pengembangan rute Jakarta ke Surabaya.
“Memang utang yang harus segera diselesaikan ini juga tidak boleh kemudian menghambat rencana besar kita untuk mengembangkan konektivitas berikutnya. Tadi Jakarta sampai dengan Surabaya,” ujanya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan tidak akan menggunakan APBN untuk menanggung utang jumbo proyek Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) atau Whoosh. Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) itu kini tengah disorot karena beban utangnya mencapai Rp 116 triliun.
Danantara, sebagai superholding BUMN, disebut tengah mencari cara meringankan pembiayaan proyek tersebut, termasuk kemungkinan meminta dukungan dari APBN. Namun, Purbaya menolak wacana itu.
Ia menilai, utang proyek KCIC bukan tanggung jawab pemerintah, melainkan sepenuhnya menjadi urusan BUMN yang terlibat di dalamnya.
Meski mengaku belum menerima permintaan resmi dari Danantara, Purbaya mengingatkan bahwa sejak superholding itu terbentuk, seluruh dividen BUMN telah menjadi milik Danantara dan tidak lagi tercatat sebagai penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Kalau sudah dibuat Danantara, kan mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih, harusnya mereka manage dari situ. Jangan ke kita lagi (Kemenkeu),” ujar Purbaya, Jumat (10/10).