Berkat Koperasi Ketakasi, Anak Muda Sidomulyo Jember Kini Tak Malu Jadi Petani

Berita

Jember, 26 Oktober 2025 – “Saya selalu mengenalkan diri sebagai petani saat ditanya apa pekerjaan saya.” Begitu cerita Ahmad Hudori Fadil, kepada tamu dari Kementerian Pendidikan Tinggi Timor Leste yang berkunjung ke Koperasi Kelompok Tani Kopi Asli Sidomulyo (Ketakasi) desa Sidomulyo Kecamatan Silo Kabupaten Jember (14/10/2025). Ada nada optimis dari pernyataan Dori, begitu panggilan akrabnya, saat mengucapkan kata petani. Pernyataan Dori yang usianya masih 26 tahun ini membuat tamu dari Timor Leste kagum.

Pernyataan Dori tentu ada dasarnya. Menurut pemuda asli Desa Sidomulyo ini, penghasilan rata-rata petani kopi seperti dirinya di desanya bisa mencapai 8 hingga 10 juta rupiah per bulan. Jauh lebih tinggi dari Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Jember yang berkisar di angka 2,6 juta rupiah. Itu pun baru penghasilan dari kopi, belum penghasilan dari dari panen buah naga, alpukat, sengon dan atau ternak kambing. Tak heran jika Dori dan kawan-kawannya tak malu lagi jadi petani.

Keberhasilan Dori berkebun kopi membuatnya jadi role model petani milenial oleh Bank Indonesia (BI). Minggu ini rencananya Dori diutus oleh BI pusat ke Padang untuk menjadi pembicara di kegiatan yang didukung oleh BI. Perjalanan Jakarta – Jember pulang pergi pun sudah biasa dilakukannya, untuk berunding dengan calon pembeli kopi atau diminta menjadi pemateri mengenai kopi dan kiprah koperasi Ketakasi.

Keberhasilan Dori memang tak bisa lepas dari keberadaan Koperasi Ketakasi yang berdiri semenjak tahun 2007 lalu, yang dibidani oleh Fakultas Pertanian Universitas Jember (UNEJ). Tentu saja keberhasilan petani kopi di Desa Sidomulyo tidak datang tiba-tiba, tapi melalui proses panjang sehingga bisa seperti saat ini. Ada kerja keras dan konsistensi yang tak pernah redup.

“Awalnya seperti anak muda Sidomulyo lainnya, selepas lulus SMA saya mengadu nasib ke luar Jember. Tak pernah terpikir bakal menekuni profesi petani kopi,” ungkap Dori. Maklum saat itu siapa yang mau menjadi petani jika harga kopi rendah. Namun lambat laun berkat bimbingan dari para senior seperti Ketua Koperasi Ketakasi, H. Suwarno, mampu meyakinkan Dori dan kawan-kawan seusianya menekuni profesi petani kopi. Dori bisa dibilang generasi ketiga dari petani kopi binaan UNEJ melalui koperasi Ketakasi.

Berkat Koperasi Ketakasi, petani Sidomulyo yang awalnya menjadikan kopi sebagai komoditas sampingan mulai berubah. Kopi yang tadinya dijual secara gelondongan diolah dulu jadi green bean. Setelah mendapatkan pelatihan dari Fakultas Pertanian UNEJ, mereka mulai serius mengelola tanaman kopi dari hulu hingga hilir, termasuk membangun kelembagaan petani melalui Koperasi Ketakasi. Petani didampingi mengelola budidaya kopi, memproses hingga menjadikannya produk siap konsumsi yang tentunya memberikan nilai tambah lebih tinggi, daripada dijual gelondongan saja.

Seperti yang disampaikan penanggung jawab unit proses hilirisasi sekaligus merangkap penangungjawab pengembangan pasca panen kopi arabika, Sunari kepada tamu dari Timor Leste. Pagi itu Sunari menjelaskan proses penanaman kopi jenis robusta langsung di lahan. Dari proses penananman, proses stek dua jenis tanaman kopi, tanaman naungan hingga pemrosesan kopi setelah dipanen.

Tak hanya menunjukkan tanaman kopi saja, Sunari mengajak tamu dari Timor Leste melihat ternak kambing milik warga. Dari usaha peternakan kambing, selain dijual untuk dagingnya, kotoran kambing yang dicampur sekam padi dan fermentor menjadi pupuk kandang yang digunakan memupuk tanaman kopi dan tanaman lainnya. Tidak heran banyak petani dari luar Desa Sidomulyo yang berminat membeli pupuk kandang ini, namun keterbatasan tanaga kerja membuat Sunari dan kawan-kawan belum bisa melayani tingginya permintaan.

Sepanjang perjalanan di kebun kopi, Sunari aktif berdiskusi dengan koleganya. Salah satu yang dibahas adalah harga kopi di Timor Leste yang dihargai rendah akibat petani belum bisa memproses kopi. Menurut Direktur Nasional Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Tinggi Timor Leste, Higino Alves, harga kopi di negaranya dihargai tak lebih separuh harga produksi petani Sidomulyo, salah satunya karena faktor monopoli harga juga.

Higino Alves dan tim datang ke Desa Sidomulyo dalam rangka melihat bagaimana pendampingan petani kopi oleh UNEJ, setelah sehari sebelumnya berdiskusi mengenai kurikulum dan fasilitas laboratorium kopi di kampus Tegalboto. Pasalnya pemerintah Timor Leste bermaksud menegerikan sebuah perguruan tinggi swasta, yang akan fokus pada pendidikan tinggi pertanian. Khususnya mempelajari perkebunan kopi.

“Sesuai rencana, East Timor Coffee Institute yang ada di kota Ermera yang semula milik swasta akan dinegerikan pada bulan Desember nanti. Oleh karena itu kami belajar ke UNEJ yang sudah berpengalaman, mulai dari kurikulum, laboratorium hingga pasca panennya,” ujar Higino Alves.

Mendengar informasi harga kopi petani Timor Leste ini Sunari merasa prihatin. Menurutnya saat ini harga green bean kopi Robusta Sidomulyo dihargai 65 ribu rupiah per kilogramnya, sementara untuk kopi Arabika bisa dua kali lipatnya. “Bahkan kalau saya olah menjadi kopi wine, maka saya sendiri yang menetapkan harganya. Saya jual tiga ratus ribu per kilogram pun ada yang mau beli sebab ini soal rasa,” tutur Sunari.

Untuk mencapai bargaining position seperti petani kopi Sidomulyo memang perlu kelembagaan yang kuat. Harus ada transparansi terutama soal harga agar petani memiliki informasi yang valid. Informasi ini juga menghindarkan petani dari jebakan monopoli harga oleh pihak pengepul kopi. Maka peran koperasi Ketakasi menjadi penting sebagai jembatan antara petani dan pasar kopi.

“Untuk membantu petani yang kurang modal, kami mengucurkan bantuan. Kami juga memberikan bantuan pendampingan bersama UNEJ dalam menjaga mutu kopi mulai hulu hingga hilir agar sesuai dengan permintaan pasar,” ungkap H. Soewarno yang didapuk sebagai Ketua Koperasi Ketakasi. Soewarno bangga, apa yang dirintisnya delapan belas tahun yang lalu telah menunjukkan hasil. Bahkan pada tahun 2013, UNEJ mendapatkan prestasi MDGs Award dari Presiden SBY atas keberhasilan membina petani kopi Sidomulyo.

Sementara itu dosen Fakultas Pertanian UNEJ, Djoko Soejono, menceritakan lagi masa awal merintis pendampingan kepada petani Sidomulyo. Menurut dosen di Program Studi Agrobisnis ini, awalnya tak banyak petani yang tertarik, bahkan apatis terhadap ajakannya mengolah kopi hingga mendirikan koperasi. Pasalnya petani sudah bosan dengan janji-janji tanpa bukti.

“Di tahun-tahun awal pendampingan, hampir setiap kali datang ke Sidomulyo saya disidang oleh petani, ditanya banyak hal. Untungnya saya tidak pernah menjanjikan yang muluk-muluk kepada kawan-kawan petani. Satu hal yang membuat saya yakin koperasi Ketakasi akan berjalan adalah setiap kali pertemuan, jumlah petani yang hadir tak pernah berkurang yang menandakan mereka memiliki semangat untuk berubah,” kata Djoko Soejono kepada koleganya dari Timor Leste.

Djoko Soejono yang setia mendampingi petani kopi Sidomulyo ini menjelaskan salah satu kunci kesuksesan pembinaan petani adalah membangun kebersamaan diantara petani dan memberikan petani akses kepada pasar, mendorong petani berkolaborasi dengan lembaga lain seperti Puslit Kopi dan Kakao sekaligus memberikan kepercayaan kepada petani untuk berkembang. Kini petani kopi Sidomulyo sudah membuktikan mampu sejahtera berkat kebun kopinya.

Dan yang terpenting, petani Sidomulyo melalui Koperasi Ketakasi binaan UNEJ mampu melaksanakan regenerasi petani kopi. Saat ini ada 127 petani yang didominasi anak muda yang aktif bergabung di Koperasi Ketakasi. Desa Sidomulyo juga jadi jujugan petani lain untuk belajar, bahkan bulan Juni lalu ada mahasiswa dari Provinsi Nusa Tenggara Timur yang magang tentang kopi. Kini anak muda Sidomulyo yang mengambil peranan.

“Kami anak-anak muda Sidomulyo terus berusaha belajar, sebab kopi bisa menjadi sumber penghidupan kami. Apalagi prinsip saya, sukses sendiri itu biasa, namun sukses bersama itu baru luar biasa,” pungkas Dori menutup diskusi siang itu. Tentu dengan suguhan kopi produksi Sidomulyo buat kami yang hadir.